Langit
begitu gelap siang ini. Sinar matahari yang begitu hebat kalah oleh awan
yang labil. Ya labil, berubah-rubah tanpa terprediksi. Bisa putih
bersih bercahaya mempesona, tapi juga bisa gelap mendung seperti saat
ini. Bahkan aku berani bertaruh, sebentar lagi pasti dia menangis.
Awan sebenarnya
baik, meski dia sering sesukanya menutupi cahaya matahari, dia tak bermaksud
jahat pada matahari, dia hanyalah tipe yang senang bermain. Kesana
kemari. Karena terpengaruh oleh angin.
Angin lah yang
egois. Sesukanya. Berlari-lari kesana kemari. Mendorong awan. Dan membuat awan
terbawa terlalu jauh hingga lelah dan menangis. Angin lah yang
jahat. Bukan hanya awan yang ditiupnya. Pohon juga, atau semuanya yang dia
lewati.
Bedanya, pohon jauh
lebih pasrah dari awan. Dia tidak bisa lari dan akhirnya kabur dalam tangisan,
dia cuma bisa diam. Selalu diam. Bahkan bisa dibilang pohon terlalu
pasrah. Bukan hanya dalam menghadapi angin, tapi apapun yang menerpanya.
Gersang karena matahari sedang ingin bersinar terus-menerus, pohon diam dan
kemudian mati. Diterpa angin yang menggila menjadi badai, pohon tetap diam
dan kemudian roboh.
Betapa payahnya.
Tapi pohon adalah
sumber kehidupan. Dibalik diamnya, dia selalu menghasilkan oksigen untuk
nafas hidup manusia. Selalu. Tak kenal lelah. Tanpa mengeluh.
Padahal manusia
pula lah yang menebangi mereka menjadi potongan-potongan demi memenuhi
kebutuhan mereka. Tapi pohon tak pernah protes. Dia terima. Dengan senang hati
berkorban untuk binasa demi senyum manusia saat melihat mereka sebagai perabot
rumah mereka. Mereka rela bertransformasi, meninggalkan diri mereka yang asli
menjadi apa yang menurut manusia, lebih baik bagi mereka. Pohon menelan rasa
rindunya pada daun, pada akar, pada semua yang dia sayangi. Dan tak pernah
menyerah. Kapanpun mereka kembali ke tanah, mereka akan tumbuh kembali,
memulai kehidupan baru lagi. Begitu seterusnya.
Betapa rendah
hati dan luar biasa sekali kelapangan hati seorang pohon.
Semoga kita semua
bisa banyak belajar darinya. Amin.